Biografi Singkat Al-Imam Asy-Syafi'i

Nama lengkap Imam Syafi’I adalah Abu Abdullah Muhammad Bin Idris Bin Abbas Bin Utsman Bin Syafi’i Bin As-Saaib Bin Ubaid Bin Abdi Yazid Bin Hasyim Bin Al-Muthallib Bin Abdi Manaf. Kata “Syafi’i” dinisbahkan kepada nama kakeknya yang ketiga yaitu syafi’i bin as-sa’ib, sedangkan ibu imam syafi’i bernama Fatimah binti Abdullah bin Al-Hasan bin Husein Bin Ali bin Abi Talib. Dari keturunan ayahnya imam syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW pada kakeknya yang ketiga yaitu Abd Manaf, sedangkan dari pihak ibu, ia adalah cicit dari Ali bin Abi Talib. Dengan demikian, kedua orang tuanya berasal dari bangsawan Arab Quraisy.

Imam Syafi’i lahir di kota Gaza, Palestina pada tahun 150 H/767 M. dan meninggal di kota Fustat (Kairo), Mesir pada tahun 204 H/ 820 M. Imam Syafi’i terlahir dalam keadaan yatim, ayahnya meninggal dunia pada saat ia masih dalam kandungan tak lama setelah kepindahan mereka dari mekkah ke gaza.

Imam Syafi’i dibesarkan oleh ibunya, setelah berusia dua tahun syafi’i kembali ke mekkah ke kampung asalnya. Diriwayatkan bahwasanya kehidupan syafi’i dan ibunya sangatlah sederhana, serba kekurangan dan banyak menderita kesulitan. Bahkan karena kemiskinan dan ketidakmampuannya ia terpaksa mengumpulkan kertas-kertas bekas dari kantor –kantor pemerintah atau tulang-tulang sebagai alat untuk mencatat pelajarannya.

Pendidikan syafi’i dimulai dari belajar membaca Al-Qur’an dan dalam usia 9 tahun syafi’i sudah mampu menghafal seluruh isi Al-Qur’an. Setelah dapat menghafal Al-Qur’an, syafi’i berangkat ke dusun Badui yaitu Banu Hudail untuk mempelajari bahasa Arab, kesustraan dan adat istiadat arab yang asli dan fasih. Berkat ketekunan dan kesungguhannya kemudian ia dikenal sangat ahli bahasa dan kesustraan arab serta mahir dalam membuat syair.

Dalam ilmu fiqih  syafi’i berguru kepada seorang ulama besar dan mufti di kota mekah yaitu Imam Muslim bin Khalid al-Zani, sedangkan dalam ilmu hadits syafi’i berguru kepada Imam Sufyan bin Uyainah dan ilmu Al-Qur’an ia berguru kepada Imam Ismail bin Qastantin. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam bukunya yang bernama “Tawali at-Ta’sis”  menyebutkan ulama-ulama yang pernah menjadi guru Asy-Syafi’i adalah : Imam Ibrahim bin Sa’id, Imam Malik bin Anas, Imam Yahya bin Hasan, Imam Waqi’, Imam Fudail bin Iyad dan Imam Muhammad bin Syafi’.

Diantara guru syafi’i yang terkenal adalah Imam Malik pengarang kitab al-Muwatta. Pada usia 10 tahun syafi’i telah hafal seluruh isi dalam kitab al-muwatta dan ia sangat berkeinginan sekali untuk menemui imam malik. Setelah meminta izin kepada gurunya di mekkah maka syafi’i berangkat ke madinah dengan menempuh perjalanan selama 8 hari dan dalam perjalanannya ia telah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 16 kali.

Karena keingintahuannya akan ilmu kehidupan syafi’i selalu berpindah-pindah, di irak ia berguru kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhamma bin Hasan keduanya adalah sahabat dari Imam Abu Hanifah. Setelah dua tahun di irak kemudian syafi’i melanjutkan perjalanannya ke Persia, hirrah, palestina dan ramlah. Dari ramlah ia kembali ke madinah dan tinggal bersama gurunya Imam Malik kurang lebih selama 4 tahun hingga sampai wafatnya Imam Malik.

Karena kehidupannya berpindah-pindah ajaran syafi’i tersebar ke beberapa daerah dan murid-muridnya pun mencapai ribuan. Diantara tempat yang pernah disinggahi adalah negeri Baghdad, negeri mesir dan negeri yaman dan disini ia menikah dengan Siti Hamidah binti Nafi’ cicit dari Utsman bin Affan, dari hasil perkawinannya syafi’i dikaruniai 3 anak yaitu : Abdullah, Fatimah dan Zaenab.

Syafi’i adalah figure ulama yang zahid, pakaian dan tempat tinggalnya sederhana. Ia tidak suka makan banyak karena sudah terbiasa tidak makan sampai kenyang. Syafi’i juga terkenal dalam hal ketaatan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Namun demikian ia juga tak sepi dari kritik yang pedas. Misalnya para ahli hadits mengkritik Imam Syafi’i sebagai orang yang ceroboh dan kurang hati-hati dalam menggunakan hadits. Mereka menuding Imam Syafi’i meriwayatkan hadits dari para pendusta dan ahli bid’ah.

Namun kritik tersebut  agaknya runtuh dengan sendirinya, Imam Syafi’i justru diberi gelar “Nasir as Sunnah” artinya “Pembela Sunnah atau Hadits” karena sangat menjunjung tinggi sunnah Nabi SAW. Ulama besar Abdul Halim al-Jundi menulis sebuah buku dengan judul al-Imam asy-Syafi’i, Nasir as-Sunnah wa Wadi’ aal-Usul ( Imam Syafi’i Pembela Sunnah dan peletak Dasar Ilmu Usul Fiqih), didalamnya diuraikan secara rinci bagaimana sikap dan pembelaan syafi’i terhadap sunnah.

Dalam meng-istinbat-kan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, syafi’i dalam bukunya ar-Risalah menjelaskan bahwa ia memakai lima dasar atau lima sumber hukum yaitu : (1) Al-Qur’an, (2) Al-Hadits, (3) Ijma’, (4) Qiyas, (5) Istidlal (penalaran). Kelima dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai lima dasar hukum madzhab Imam Syafi’i.

Karangan Imam Syafi’i diantaranya adalah :
1.      Ar-Risalah , yaitu kitab yang membahas tentang usul fiqih.
2.      Kitab Al-Umm, sebuah kitab yang komprehensif terdiri dari tujuh jilid.
3.      kitab al-Musnad, yaitu kitab berisi tentang hadits-hadits Nabi SAW yang dihimpun dari kitab Al-Umm.
4.      Ikhtilaf al-Hadits, suatu kitab hadits yang menguraikan pendapatsyafi’i mengenai perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam hadits.

Diantara murid-murid Imam Syafi’i yang terkenal adalah, ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Marawai, Abdullah bin Zubair al-hamidi, Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, Abu Ibrahim, isma’il bin Yahya al-Muzajani, Yunus bin Abdul A’la as-Sadafi, Ahmad bin Sibti, Yahya bin Wazir al-Misri, Harmalah bin Yahya Abdullah at-Tujaibi, Ahmad bin Hambal, Hasan bin Ali al-Karabisi, Abu saur Ibrahim bin Khalid yamani al-Kalbi, dan hasan bin Ibrahim bin Muhammad as-Sahab az-Za’farani. Mereka semua berhasil menjadi ulama besar di masanya.

Wallohu A’laam

Enang Latif Munawar
Penulis

Dalil-dalil Disunnahkannya Aqiqah

Berikut ini adalah hadits-hadits yang menunjukkan akan disunnahkannya Aqiqah :

1. عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ قَاَلَ : قَاَلَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يُنْسَكَ عَنِ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ الْغُلاَمِ شاَتَاَنِ مُكاَفأَ َتاَنِ وَعَنِ الْجاَ رِيَةِ شاَةٌ . (رواه احمد وابو داود والنسائى)

Artinya :

" Telah berkata Rasulullah SAW : Barang siapa diantara kamu ingin beribadat tentang anaknya hendaklah dilakukannya, untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama umurnya dan untuk anak perempuan seekor kambing ". (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai.)

2.َعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَقَّ عَنْ اَلْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا )  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ, وَعَبْدُ اَلْحَقّ ِ لَكِنْ رَجَّحَ أَبُو حَاتِمٍ إِرْسَالَه ُ

Artinya :
" Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam beraqiqah untuk Hasan dan Husein masing-masing seekor kambing kibas." ( Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, dan Abdul Haq, namun Abu Hatim lebih menilainya hadits mursal.)

3.َوَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمْرَهُمْ أَنْ يُعَقَّ عَنْ اَلْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ, وَعَنْ اَلْجَارِيَةِ شَاةٌ )  رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَه ُ

Artinya :
" Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar beraqiqah dua ekor kambing yang sepadan (umur dan besarnya) untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan." ( Hadits shahih riwayat Tirmidzi.)
4. عَنْ أُمِّ كُرْزٍ، قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مِثْلاَنِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ ‏"‏ ‏. (رواه ابوداود).‏
Artinya :
" Dari Umi Kurzi ia berkata ; telah bersabda rasulullah SAW : Untuk anak laki-laki dua ekor kambing seumpamanya dan untuk anak perempuan satu ekor kambing " (HR. Abu Daud)

5.َوَعَنْ سَمُرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُحْلَقُ, وَيُسَمَّى ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيّ
Artinya :
: Dari Samurah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya; ia disembelih hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur, dan diberi nama."( Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi.)

6.عن سلمان بن عامر الضَّبيُّ قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (مع الغلام عقيقة، فأهريقوا عنه دماً، وأميطوا عنه الأذى).(رواه البخاري)

Artinya :
" Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.”(HR Bukhari)

7. عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ، أَنَّهُ قَالَ : وَزَنَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ  شَعَرَ حَسَنٍ وَحُسَيْنٍ، فَتَصَدَّقَتْ بِزِنَتِهِ فِضَّةً. (رواه مالك و احمد)
Artinya :
" Dari Rabi'ah Bin Abi Abdul Rohman, dari Muhammad bin Ali bin Husain bahwasanya ia berkata : bahwasanya Fatimah Binti Rasulullah SAW (setelah melahirkan hasan da husain) mencukur rambut  hasan dan husain kemudian ia bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya. " (HR. Imam Malik dan Imam Ahmad dengan matan yang agak berbeda)

Sumber :
Shahih Bukhori karangan Imam Bukhori
Sunan Abu Daud Karangan Imam Abu Dawud
Fathul Baari karangan Syekh Ibnu Hajar
Musnad Imam Ahmad
Almuwatho karangan Imam Malik

Sekilas Tentang Isfal Atau Memakai Celana Sampai Dibawah Lutut

Seorang mahasiswa perguruan tinggi di Surabaya mempertanyakan, apakah bila kita memakai celana harus di atas mata kaki atau harus ditinggikan di bawah lutut? Pertanyaan ini disampikannya terkait anjuran sekelompok umat Muslim di Indonesia bagi kaum laki-laki untuk memakai celana yang tinggi, hampir di bawah lutut. Kelompok ini sudah berkembang di kampus-kampus.

Sepanjang yang kami ketahui, praktik memakai celana di atas mata kaki, ini merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَا أسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإزَارِ فَفِيْ النَّارِ

Sarung (celana) yang di bawah mata kaki akan ditempatkan di neraka

Dari hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa sunnah memakai pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. Sebagian ulama bahkan mengharamkan mengenakan pakaian sampai di bawah mata kaki jika dimaksudkan lil khulayah atau karena faktor kesombongan. Hal ini juga didasarkan pada hadits lain riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ

Allah tidak melihat orang yang merendahkan pakaiannya dengan penuh kesombongan.

Tentunya ini sesuai dengan konteks saat itu, bahwa merendahkan pakaian atau memakai pakaian di bawah lutut di daerah Arab waktu itu adalah identik dengan ria dan kesombongan.

Nah, secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits ini difahami bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada di tanah atau jalanan yang kita lewati.

Berdasarkan ketentuan fikih ini, menurut kami, kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki, tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah.

Perlu direnungkan bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzin atau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut.

KH Arwanie Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

Sekilas Tentang Taqlid

Bagi orang awam taqlid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam. Allah SWT berfirman :

وَمَاكَانَ اْلمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْاكَافَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِيْنِ وَلِيُنْدِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَارَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

Tidak pantas orang beriman pergi ke medan perang semua, hendaknya ada sekelompok dari tiap golongan dari mereka ditinggal untuk memperdalam agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, mudah-mudahan mereka itu takut.” (QS At-Taubah: 122)

Dalam ayat ini jelas Allah SWT menyuruh kita untuk mengikuti orang yang telah memperdalam agama. Dalam ayat lain secara lebih tegas Allah SWT berfirman:

فَسْئَلُوْااَهْلَ الذِكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ

Maka hendaknya kamu bertanya kepada orang-orang yang ahli Ilmu Pengetahuan jika kamu tidak mengerti.” (An-Nahl: 43)

Kepada siapakah kita bertaqlid? Kita bertaqlid kepada salah satu dari madzhab empat yang telah dimaklumi oleh seluruh Ahli Ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih.

Di samping itu telah dimaklumi pula ketinggian akhlaq dan taqwa mereka yang tidak akan menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang takut kepada Allah SWT dan telah meletakkan hukum bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas. Namun, ketika kita boleh bertaqlid, bukan kemudian kita bertaqlid kepada sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. Tentu taqlid semcam itu justru akan membawa kesesatan. Kita bertaqlid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlaq dan sikapnya sehari-hari, di mana fatwa mereka diyakini berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an :

 اِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ اْلعُلَمؤُا

Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.” (Fathir: 28)
Taqlid buta, atau taqlid kepada sembarang orang tentu dilarang oleh agama. Bagi mereka yang ada kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha'. Namun, untuk mencapai derajat mujtahid barangkali sulit, walaupun kemungkinan selalu ada.

KH Nuril Huda
Ketua PP LDNU

Hukum Berdzikir Memakai Tasbih

Ada beberapa amalam berupa dzikir atau shalawat yang ditentukan bilangannya. Seperti sehabis shalat wajib disunnahkan membaca "Subhanallah" sebanyak 33 kali. "Alhamdulillah" 33 kali, "Allahu akbar" 33 kali dan "La Ilaha illallah" 100 kali. Demikian pula membaca shalawat nariyah 4444 kali.

Untuk mencapai bilangan itu, biasanya orang-orang memakai tasbih. Ada yang mengklaim bahwa penggunaan tasbih itu adalah bid’ah, sebab tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Lalu bagaimana sebetulnya?

Tasbih dalam bahasa Arab disebut dengan as-subhah atau al-misbahah. Yaitu untaian mutiara atau manik-manik dengan benang yang biasa digunakan untuk menghitung jumlah tasbih (bacaan Subhanallah), doa dan shalawat. Dan ternyata pada masa Rasulullah pemakaian tasbih ini sudah dilaksanakan. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

“Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqash dari ayahnya bahwa dia bersama Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah seorang perempuan. Perempuan itu memegang biji-bijian atau krikil yang digunakan untuk menghitung bacaan tasbih. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُعَلَيْكِ مِنْ هَذَا أوْ أفْضَلُ فَقَالَ قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلَقَ فِي السَّمَاءِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلِقَ فِي الأرْضِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَابَيْنَ ذَلِكَ، سُبْحَانَ الله عَدَدَ مَاهُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أكْبَرُمِثْلَ ذَلِكَ‘وَالْحَمْد ُلِلّهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَاإلهَ إلَّااللهُ مِثْلَ ذَلِكَ‘وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إلاَّباِللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ مَثْلُ ذَلِكَ

Aku akan memberitahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari menggunakan kerikil ini. Bacalah “Maha Suci Allah” sebanyak bilangan makhluk langit, “Maha Suci Allah” sebanyak hitungan makhluk bumi, “Maha Suci Allah” sebilangan makhluk antara langit dan bumi, “Maha Suci Allah” sebagai Sang Khaliq. “Segala Puji Bagi Allah” seperti itu pula (bilangannya), “Tiada Tuhan Selain Allah” seperti itu pula, ”Allah Maha Besar” seperti itu pula, dan ”Tidak Ada Upaya dan Kekuatan Seian dari Allah” seperti itu pula." (HR Tirmidzi)

Menomentari hadits ini Abi al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim al-Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntutan bacaan yang umum dalam tasbih yang memiliki keutamaan yang besar.

Bertolak dari pendapat ini, kami bisa memahami bahwa para sahabat sudah biasa menggunakan biji-bijian atau kerikil untuk mempermudah di dalam menghitung dzikir-dzikir yang dibaca sehari-hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah dipungkiri oleh Rasulullah SAW.

Ini membuktikan bahwa Nabi mengamini (setuju) terhadap apa yang dilakukan oleh para Sahabat itu. Oleh sebab itu, memakai tasbih dalam berdzikir bukannya bid’ah dhalalah (hal baru yang menyesatkan) sebagaimana yang diklaim oleh beberapa orang selama ini. Sebab jika memang menggunakan tasbih itu termasuk hal-hal yang menyesatkan niscaya sejak awal Rasul sudah melarang para sahabat untuk memakainya.


KH Muhyiddin Abdushomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember

Hukum Dzikir Berjamaah Dengan Suara Keras

Berkumpul di suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hadits-hadits yang menunjukkan kesunnahan perkara ini banyak sekali, diantaranya.

مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني

Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridla Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian.
(HR Ath-Thabrani)

Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum di antaranya adaah hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرًا مِنْهُ –منقق عليه

Allah Ta’ala berfirman: Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku, dan aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut namaku. Jika ia menyebut namaku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebutku secara berjamaah atau dengan suara keras maka aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia. (HR Bukhari-Muslim)

Dzikir secara berjamaah juga sangat baik dilakukan setelah shalat. Para ulama menyepakati kesunnahan amalan ini. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ditanya:

أَيُّ دُعَاءٍ أَسْمَعُ؟

 “Apakah Doa yang paling dikabulkan?”

Rasulullah menjawab:

جَوْفُ اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ – قال الترمذي: حديث حسن

“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu." (At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan.

Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjamaah setelah shalat secara khusus, di antaranya hadits Ibnu Abbas berkata:

كُنْتُ أَعْرِفُ إنْقِضَاءِ صَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR Bukhari Muslim)

أَنَّ رَفْعَ الصّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ – رواه البخاري ومسلم

Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jamaah selesai shalat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah.
(HR Bukhari-Muslim)

Dalam sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim juga, Ibnu Abbas mengatakan:

كنت أعلم إذا انصرفوا بذالك إذا سمعته – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdikir yang keras itu. (HR Bukhari Muslim)

Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya.


KH A Nuril Huda
Ketua Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Mengusap Wajah Setelah Shalat

Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai mengucapkan salam dalam shalat, umat Islam mengusap wajah dengan kanannya. Hal ini didasarkan satu riwayat bahwa setelah bahwa Rasulullah SAW selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.

عَنِ السَّائِبِ بْنِ يِزِيْدِ عَنْ أَبِيْهِ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ -- سنن أبي داود

Dari Saib bin Yazid dari ayahnya, “Apabila Rasulullah SAW berdoa, beliau beliau selallu mengangkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya." (HR Abu Dawud, 1275)

Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya, sebab shalat secara bahasa berarti berdoa. Di dalam shalat terkandung doa-doa kepada Allah SWT Sang Khaliq. Sehingga orang yang mengerjakan shalat berarti juga sedang berdoa. Maka wajar jika setelah shalat ia juga disunnahkan untuk mengusap muka.

Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin menyatakan: Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar, dan kami juga meriwayatkan hadits dalam kitab Ibnus Sunni dari Sahabat Anas bahwa Rasulullah SAW apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu berdoa:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إلهَ إلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ

Saya bersaksi tiada Tuhan kecuali Dia Dzat Yang maha Pengasih dan penyayang. Ya Allah Hilangkan dariku kebingungan dan kesusahan." (I’anatut Thalibin, juz I, hal 184-185)

Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka setelah shalat memang dianjurkan dalam Islam. Karena Nabi Muhammad SAW juga mengusap muka setelah shalat.


KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Rais Syuriyah PCNU Jember

Ketentuan mengqodlo Shalat

Para mukallaf atau orang-orang dibebani kewajiban-kewajiban agama harus mengganti atau qadla shalat yang ditinggalkan dan dianjurkan dilaksanakan dengan segera.

Para ulama memberikan penjelasan bahwa bila ia tidak melaksanakan shalatnya dengan segera tanpa adanya udzur, maka ia wajib melaksanakan dengan segera. Bahkan ia diharamkan melakukan kesunahan. Bila ia tidak melaksanakan shalat karena ada udzur maka mengadla dengan segera hukumnya sunnah saja.

Apakah wajib mengurutkan shalat yang ditinggalkan? Dalam hal ini para ulama merinci sebagai berikut: Pertama, sunah mentertibkan apabila tidak melakukannya karena ada udzur.

Contoh; seseorang tertidur sebelum masuk waktu dhuhur dan ia bangun pada waktu shalat isya', berarti ia meninggalkan shalat dhuhur, ashar dan maghrib, maka dalam mengadlanya ia sunah mendahulukan shalat dhuhur atas ashar dan mendahulukan shalat ashar atas shalat maghrib

Ketentuan kedua, wajib tertib bila shalat yang ditinggalkan tidak karena ada udzur. Contoh; seseorang meninggalkan shalat dhuhur dan ashar karena tanpa ada udzur, misalnya tidur sudah masuk waktu shalat atau karena malas, maka dalam mengqodlo'nya ia wajib mendahulukan shalat dhuhur atas shalat Ashar.

Namun Imam Romli berpendapat bahwa mentertibkan shalat yang ditinggalkan itu secara mutlak hukumnya sunah, baik meninggalkannya karena ada udzur atau tidak, atau sebagian karena ada udzur dan sebagian yang lain tidak ada udzur, dan pendapat inilah yang dipilih Syaikh Zainuddin Al-Mulaibari, pengarang kitab Qurratul Ain bi Muhimmatid Din.

Ketentuan lain dalam mengadla shalat adalah mendahulukan shalat fait atau shalat yang tidak dilakukan pada waktunya atas shalat hadlirah atau shalat yagn masih berada pada waktunya bila shalat yang tidak dilakukan pada waktunya itu karena ada udzur dan tidak khawatir shalat yang hadliroh itu keluar dari waktunya, walaupun ia khawatir kehilangan jama'ahnya shalat hadliroh.

Bila mendahulukan shalat fait ia khawatir shalat hadlirohnya keluar waktu, misalnya waktunya tinggal sedikit, maka wajib baginya mendahulukan shalat hadliroh. Adapun bila shalat yang ditinggalkan itu tanpa adanya udzur, maka wajib mendahulukan shalat hadlirah.

Bagaimana dengan orang meninggal dan masih memiliki tanggungan shalat? Para ulama' di kalangan Syafi'iyyah berbeda pendapat mengenai ini; Pendapat yang pertama, tidak wajib diqadla ataupun dibayar fidyah, karena urusan dia di dunia sudah selesai dan segala amalnya tinggal mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah.

Pendapat kedua, wajib dilakukan (qadla) sebagai ganti dari shalat mayit. Pendapat inilah yang paling banyak dipilih oleh para imam di kalangan Syafi'iyyah, termasuk yang dilakukan oleh Imam As-Subki atas sebagian kerabatnya yang telah meninggal dunia.


KH Abdul Nashir Fattah
Rais Syuriyah PCNU Jombang

Hukum Bersalaman Setelah sholat

Bersalaman setelah shalat adalah sesuatu yang dianjurkan dalam Islam karena bisa menambah eratnya persaudaraan sesama umat Islam. Aktifitas ini sama sekali tidak merusak shalat seseorang karena dilakukan setelah prosesi shalat selesai dengan sempurna. Meskipun demikian, banyak orang yang mempertanyakan tentang hukum bersalaman, perbincangan seputar ini masih terfokus tentang bid’ah tidaknya bersalaman ba’das sholat. Inilah yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Ada beberapa hadits yang menerangkan tentang bersalaman diantaranya adalah riwayat Abu Dawud:


عَنِ اْلبَرَّاءِ عَنْ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أنْ يَتَفَرَّقَا

Artinya : Diriwayatkan dari al-Barra’ dari Azib r.a. Rasulallah s.a.w. bersabda, “Tidaklah ada dua orang muslim yang saling bertemu kemudian saling bersalaman kecuali dosa-dosa keduanya diampuni oleh Allah sebelum berpisah.” (H.R. Abu Dawud)


عَنْ سَيِّدِنَا يَزِيْد بِنْ اَسْوَدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَنَّهُ صَلَّى الصُّبْحَ مَعَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وَسَلّمْ. وَقالَ: ثُمَّ ثَارَ النَّاسُ يَأخُذوْنَ بِيَدِهِ يَمْسَحُوْنَ بِهَا وُجُوْهَهُمْ, فَأَخَذتُ بِيَدِهِ فَمَسَحْتُ بِهَا وَجْهِيْ
 
Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad bahwa ia shalat subuh bersama Rasulallah, lalu setelah shalat para jamaah berebut untuk menyalami Nabi, lalu mereka mengusapkan ke wajahnya masing-masing, dan begitu juga saya menyalami tangan Nabi lalu saya usapkan ke wajah saya. (H.R. Bukhari, hadits ke 3360).

عَن قلَدَة بن دِعَامَة الدَّوْسِيْ رَضِيَ الله عَنهُ قالَ قلْتُ لاَنَسْ : اَكَانَتِ اْلمُصَافحَة فِى اَصْحَابِ رَسُوْلِ الله, قالَ نَعَمْ

Artinya :Dari Qaladah bin Di’amah r.a. berkata : saya berkata kepada Anas bin Malik, apakah mushafahah itu dilakukan oleh para sahabat Rasul ? Anas menjawab : ya (benar)

Hadits-hadits di atas adalah menunjuk pada mushafahah secara umum, yang meliputi baik mushafahah setelah shalat maupun di luar setelah shalat.

Jadi pada intinya mushafahah itu benar-benar disyariatkan baik setelah shalat maupun dalam waktu-waktu yang lainnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadits di atas.
Pendapat para ulama.
1.    Imam al-Thahawi.

تُطْلَبُ اْلمُصَافحَة فَهِيَ سُنَّة عَقِبَ الصَّلاةِ كُلّهَا وَعِندَ كلِّ لَقِيٍّ

Artinya: Bahwa bersalaman setelah shalat adalah sunah dan begitu juga setiap berjumpa dengan sesama Muslim.
 

2.    Imam Izzuddin bin Abdissalam
Beliau berkata :

اَنَّهَا مِنَ اْلبِدَعِ المُبَاحَةِ
Artinya : (Mushafahah setelah shalat) adalah masuk dalam kategori bid’ah yang diperbolehkan.

3.    Syeikh Abdul Ghani an-Nabilisi
Beliau berkata :

انَّهَا دَاخِلَة تحْت عُمُوْمِ سُنّةِ اْلمُصَافحَةِ مُطْلقا
Artinya : Mushafahah setelah shalat masuk dalam keumuman hadits tentang mushafahah secara mutlak.

4.    Imam Muhyidin an-Nawawi
 

Beliau berkata :


اَنَّ اْلمُصَا فحَة بَعْدَ الصَّلاة وَدُعَاء المُسْلِمِ لآخِيْهِ اْلمُسْلِمِ بِأنْ يَّتقبَلَ الله مِنهُ صَلاتهُ بِقوْلِهِ (تقبَّلَ الله) لاَ يَخفى مَا فِيْهِمَا مِنْ خَيْرٍ كَبِيْرٍ وَزِيَادَةِ تَعَارُفٍ وَتألُفٍ وَسَبَب لِرِبَطِ القلوْبِ وَاِظهَار للْوَحْدَةِ وَالترَابُطِ بَيْنَ اْلمُسْلِمِينْ

Artinya : Sesungguhnya mushafahah setelah shalat dan mendoakan saudara muslim supaya shalatnya diterima oleh Allah, dengan ungkapan (semoga Allah menerima shalat anda), adalah di dalamnya terdapat kebaikan yang besar dan menambah kedekatan (antar sesama) dan menjadi sabab eratnya hati dan menampakkan kesatuan antar sesama umat Islam.]

(Disarikan dari buku Tradisi Amaliah NU dan Dalil-Dalilnya, LTM-PBNU)

Biografi singkat Al-Imam Abu Mansur Al-Maturidi

Namanya adalah Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al-Maturidi, ia di lahirkan di sebuah kota yang bernama maturid didaerah Samarqand (termasuk daerah Uzbekistan) pada tahun 853 M dan meninggal pada tahun 333 H/ 944 M. Ia adalah pendiri dari aliran Al-Maturidiyah salah satu golongan aliran dari madzhab Ahlussunnah. Tidak seorangpun secara pasti mengetahui tahun kelahirannya. Ini adalah sebuah observasi penting karena ini berarti bahwa orang yang membuat isnad tidak mengetahui cukup informasi tentangnya untuk menjadikannya sebagai sumber, artinya tidak ada seorang alim pun yang pernah mengenalnya.

Maturidi hidup sezaman dengan Asy'ari, hanya saja maturidi tinggal di samarqand sedangkan asy'ari tinggal bashrah. Asy'ari adalah pengikut dari madzhab syafi'iyah sedangkan maturidi adalah pengikut dari madzhab hanafiyah. Boleh jadi ada beberapa perbedaan pendapat antara kedua orang tersebut, karena adanya perbedaan pendapat antara syafi'i dan abu hanifah sendiri.

Sebagai pengikut abu hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al maturidi banyak pula memakai akal dalam sistim teologinya. Maturidi mendasarkan fikiran-fikirannya dalam soal-soal kepercayaan kepada fikiran-fikiran Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya "al-fiqh al-akbar" dan "al-fiqh al-absat" dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab tersebut. Oleh karena itu antara teologi maturidi dan asy'ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu'tazilah.

Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara almaturidi dan asy'ari. Baginya tuhan juga mempunyai sifat-sifat, maka menurut pendapatnya Tuha mengetahui bukan karena zat-Nya, tetapi mengetahui dengan Pengetahuan-Nya, dan berkuasa bukan dengan zat-Nya.

Tetapi dalam soal perbuatan-perbuatan manusia, al maturidi sependapat dengan golongan mu'tazilah bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. dengan demikian dia mempunyai faham qadariah dan bukan faham jabariyah atau kasb asy'ari.

Sama dengan asy'ari, al maturidi menolak ajaran mu'tazilah tentang al-salah wa al-aslah,  tetapi disamping itu al maturidi berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu, al maturidi juga tidak sefaham dengan mu'tazilah tentang masalah al-Qur'an yang menimbulkan kehebohan waktu itu. Sebagaimana asy'ari ia mengatakan bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.

Mengenai soal dosa besar al maturidi sefaham dengan al asy'ari yaitu bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan tuhan kelak di akhirat. Iapun menolak faham posisi menengah kaum mu'tazilah.

Tetapi dalam soal al-wa'd wa al-wa'id almaturidi sefaham dengan mu'tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tidak boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan juga dalam soal anthropomorphisme al maturidi sealiran dengan mu'tazilah. Ia tidak sependapat dengan dengan asy'ari bawha ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi atau ta'wil. Menurut pendapatnya tangan, wajah dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan.

Salah satu pengikut penting dari dari al maturidi adalah Abu al-Yusuf Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-bazdawi adalah murid dari al maturidi, dan al bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-maturidi dari orang tuanya. Al-bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H) pengarang buku al-'Aqa'idal nasafiah.

Seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, al-bazdawi tidak pula selamanya sefaham dengan al maturidi. Kemudian diantara tokoh aliran Maturidiyah ini terdapat perbedaan faham sehingga dapat dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan. Yaitu golongan Samarqand yaitu pengikut-pengikut al maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdaw. Jika golongan samarqand mempunyai faham-faham yang lebih dekat kepada faham mu'tazilah, maka golongan bukhara cenderung lebih dekat kepada pemahaman aliran asy'ariyah.

Kitab-kitab yang pernah dikarang oleh al Maturidi diantaranya adalah ;
·   Kitab Al Tawhid
·   Kitab Radd Awa'il al-Adilla
·   Radd al-Tahdhib fi al-Jadal
·   Kitab Bayan Awham al-Mu'tazila
·   Kitab Ta'wilat al-Qur'an
·   Kitab al-Maqalat
·   Ma'akhidh al-Shara'i' in
·   Al-Jadal fi Usul al-Fiqh
·   Radd al-Usul al-Khamsa
·   Radd al-Imama
·   Al-Radd 'ala Usul al-Qaramita
·   Radd Wa'id al-Fussaq
 
Dirangkum dari berbagai sumber

Enang Latif Munawar
Penulis

Biografi Singkat Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari

Namanya adalah Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari, keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ari salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Mu’awiyah. Al-Asy’ari lahir di bashrah pada tahun 260 H/ 873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M.

Pada mulanya beliau adalah penganut aliran mu’tazilah dan murid seorang ulama mu’tazilah basrah yang terkenal yang bernama Al-jubba’i, Al-Asy’ari adalah murid Al-jubba’i yang paling cerdas dan diharapkan dapat menggantikan kedudukannya suatu saat. Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku kemu’tazilahan.

Akan tetapi ketika beliau mencapai usia 40 tahun ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan dalam mimpinya Nabi menyuruhnya untuk berpegang kepada sunnah dan mempertahankannya. Kemudian beliau bersembunyi di rumahnya selama 15 hari lalu pergi ke masjid bashrah. Di depan orang banyak secara tegas menyatakan bahwa dia tidak lagi memegang faham mu’tazilah dan menolak pendapat-pendapatnya kemudian dia menunjukkan keburukan-keburukan serta kelemahan-kelemahannya mengenai faham mu’tazilah.

Al-Asy’ari sangat khawatir tentang kedudukan Al-Qur’an dan Al-hadits yang menjadi korban faham-faham kaum mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal fikiran. Ia menolak fikiran-fikiran Aristoteles, golongan materialist, khawarij, dan golongan ahli hadits anthrophomorphist yang hanya memegang nash-nash dengan meninggalkan jiwanya dan hampir-hampir menyeret islam kepada kelemahan dan kebekuan. Oleh karenanya As’ari mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis dan golongan textualis dan ternyata jalan tersebut banyak diterima oleh mayoritas kaum muslimin.

Kurang lebih ada 90 buah karangan yang ditulis oleh asy’ari dalam berbagai macam lapangan ilmu. Diantara kegiatannya adlah untuk menghadapi orang-orang mu’tazilah, al-jubba’i dan lain-lain. Diantara karangan-karangannuya yang terkenal adalah :
- Maqalat Al-Islamiyah (pendapat-pendapat golongan islam)
- Al-ibanah an Ushulud Diniyah (keterangan tentang dasar-dasar agama)
- Al-Luma (sorotan)


Para pengikut Asy’ari mengalami tekanan yang hebat pada zaman buwayhid yang menganut faham mu’tazilah dan syi’ah. Akan tetapi dengan kedatangan sorang menteri saljuk yang bernama Nizham al-Mulk mazhab asy’ari mendapat dukungan yang sangat kuat dari pemerintahan mereka. Mereka mendirikan dua madrasah yang bernama Nizamiyyah yang berada di Nizabur dan Baghdad yang mana hanya aliran Asy’ariyah yang boleh diajarkan. Sejak itu, aliran asy’ariyah menjadi aliran resmi Negara dan berkembang pesat serta pemikirannya menjadi mazhab dari ahlussunnah.Diantara ulama besar yang mendukung Aliran asy’ariyah adalah Al-Imam Ghazali, Al-Baqillany, Al-juwayni, As-Sanusy dan Ibnu Tomart.


Wallohu A’laam
Di kutip dari kitab Tarikh Tasyri’ Al-islami karangan Hudhori bek
Dan berbagi sumber lainnya
Enang Latif Munawar
Penulis

Sekilas Tentang Ilmu Kalam

Ilmu kalam secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu, ilmu yang artinya pengetahuan dan kalam yang artinya perkataan. Kemudian ilmu kalam itu digunakan sebagai nama dari ilmu yang membahas atau membicarakan mengenai akidah-akidah dalam islam.

Ilmu kalam muncul karena adanya perdebatan yang begitu sengit mengenai akidah islam yang terjadi di kalangan kaum muslimin selepas dari pemerintahan Khulafaur Rosyidiin ( Abu Bakar, Umar , Usman, Ali ) sekitar abad kedua dan ketiga hijriyah. Yang menjadi pokok persoalannya adalah adanya pemahaman bahwasanya Kalaamullah atau Alqur’an itu adalah Makhluk, tentu saja persoalan ini mengguncang kaum muslimin waktu itu terutama pada zaman dinasti Abbasiyah yang berfahaman Mu’tazilah yang memaksa para ulama waktu itu untuk mengakui bahwasanya kalamullah itu adalah makhluk.

Metoda yang dipakai oleh ulama ilmu kalam disebut Al-kalam oleh karena itu mereka juga disebut sebagai ahlul kalam. Inilah yang membedakan mereka dengan para filosof yang menyebut mereka sebagai ahlul mantiq. Dalam dunia barat ilmu kalam disebut sebagai Teologi Islam.

Ilmu kalam mempunyai nama lain diantaranya adalah Ilmu Tauhid yaitu ilmu yang membahas tentang ke-Esaan Allah, Ilmu Aqidah yaitu ilmu yang membahas mengenai keyakinan dalam islam dan Ilmu Ushuluddin yaitu ilmu yang membahas mengenai pokok-pokok dasar agama diantaranya masalah keimanan. Kendati demikian sebagian ulama seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Hambali tidak menyukai istilah ilmu kalam tersebut, mereka lebih senang memakai Ilmu tauhid, ilmu ushuluddin atau ilmu aqo’id.

Dalil yang digunakan dalam ilmu kalam adalah pertama: Dalil Naqli, yaitu dalil yang di ambil dari Nash Alqur’an dan Hadits Shahih. Contohnya seperti nash Alqur’an berikut ini:

ﺨﻟﻕﺍﷲﺍﻟﺳﻣﻮﺖﻮﺍﻷﺮﺾﺒﺎﻟﺣﻕﺇﻦﻔﻰﺬﻟﻙﻷﻴﺔﻟﻟﻣﺆﻣﻧﻳﻥ


Artinya:
“Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mukmin. “ QS. Al-‘Ankabut 44.

Para ulama sepakat bahwa yang dijadikan sebagai dalil naqli bagi ilmu kalam adalah Wahyu Allah. Percaya kepada Allah berarti percaya juga kepada wahyu yang diturunkannya. Sifat kebenaran dalam wahyu Allah adalah sifatnya Qot’I atau tidak diragukan lagi kebenarannya dan bersifat pasti. Sedangkan berbeda dengan akal yang mempunyai kelemahan, karena sifat kebenarannya belum bisa diterima secara pasti atau lebih bersifat dzhon atau sangkaan.

Kedua : Dalil Aqli, yaitu dalil-dalil yang lahir dari akal fikiran menurut hukumnya yang sah. Jika akal sudah mampu berdalil aqli (logis), maka akal itu mudah menerima segala keterangan dari Al-qur’an dan Al-Hadits.
Dalam lintasan akal manusia tidak terlepas dari dua macam, yaitu soal-soal yang sifatnya badihy dan nazhari. Badihy yaitu suatu perkara yang mudah difahami dengan tidak memerlukan ta-ammul (berfikir) misalnya hitungan 1+1=2, matahari itu terang, malam itu gelap dan sebagainya.

Nazhari yaitu suatu perkara yang tidak mudah difahami dan memerlukan ta-ammul (berfikir), misalnya hitungan 75x89+30=…?, bumi itu berbentuk bulat telur, Allah itu sedia dan kekal adanya.

Dengan jalan akal maka seseorang dapat mengetahui adanya dzat-dzat Allah, sifat-sifatnya dan berbagai pengetahuan yang dihasilkan dari proses nazhari. Pendapat akal dapat sampai kepada hakekat kebenaran sesuatu dan tidak terbatas.

Hukum akal terbagi 3 yaitu ;
Pertama : Wajib aqli ialah perkara yang mesti dan begitu adanya menurut akal fikiran. Misalnya dua ditambah dua adalah empat, anak pasti lebih muda dari ayahnya, segala benda yang tidak bergerak pasti diam dan jika tidak diam pasti bergerak.
Kedua : Mustakhil Aqli ialah suatu perkara yang akal tidak menetapkan adanya atau akal menolak tidak boleh jadi begitu (kebalikan dari wajib aqli). Contohnya satu lebih banyak dari dua, anak lebih tua dari ayahnya dan sebagainya.
Ketiga : Jaiz aqli ialah suatu perkara yang dapat diterima oleh akal adanya atau tidak adanya. Misalnya ada orang yang berkaki satu, akal menetapkan boleh jadi artinya bisa saja terjadi atau bisa juga tidak terjadi.

Dalam mempelajari ilmu kalam atau ilmu aqidah madzhab Ahlussunnah Wal Jamaah (ASWAJA) selalu menggunakan dalil Naqli dan juga dalil aqli. Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang mengutamakan dalil aqli daripada dalil yang bersumber dari nash Al-Qur’an dan Hadits Rasul SAW. Jika mereka menemukan dalil-dalil yang bertentangan dengan akal maka mereka meninggalkannya.

Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang dibawakan oleh Al-Imam Abdul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi (Riwayatnya akan saya tuliskan pada fasal yang lain) mengembalikan ajaran Islam kepada Sunnah Rasulullah SAW dan para shahabatnya dengan berpegangan kepada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan tidak meninggalkan dalil-dalil akal. Artinya memegang kepada dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Walloohu A’laam
Dari berbagai sumber
Enang Latif Munawar
Penulis

Hal Tentang Aqiqah

Ketika anak bayi yang baru dilahirkan islam mensyari'atkan kepada penganutnya untuk melakukan beberapa hal di antaranya :

1. Dibacakan adzan dekat telinganya sebelah kanan dan dibacakan iqomat dekat telinganya sebelah kiri.
2. Hendaklah si bayi disuapi dengan sesuatu yang manis seperti kurma dan madu.
3. Memberi nama yang baik.
4. melaksanakan Aqiqah.

Aqiqah dalam bahasa arab artinya adalah rambut yang tumbuh dikepala anak/bayi. Istilah aqiqah kemudian dipergunakan untuk pengertian penyembelihan hewan sehubungan dengan kelahiran bayi. Aqiqah ini sebenarnya sudah ada sebelum islam, akan tetapi . setelah datangnya ajaran islam yang dibawa oleh Baginda Nabi Muhammad maka tradisi ini berubah dalam pelaksanaannya dengan cara tidak mengoleskan darah hewan ke kepala bayi.

Dalil yang mensunnahkan pelaksanaan aqiqah adalah seperti yang telah diriwayatkan oleh Aisyah dan Samurah yang berbunyi :

ﮐﻝﻏﻼﻢﻤﺭﺘﻬﻥﺒﻌﻗﻳﻗﺗﻪﺘﺫﺑﺢﻋﻧﻪﻴﻭﻢﺴﺎﺒﻌﻪﻭﻴﺣﻟﻕﻭﻴﺴﻣﻰ--ﺮﻭﺍﻩﺍﺣﻣﺩﻭﺍﻷﺮﺒﻌﺔ
Artinya :
“ Setiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih baginya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama “
( HR. Ahmad dan imam yang keempat )

Note : untuk lebih lengkapnya tentang dalil disunnahkannya aqiqah mohon baca kitab Bulughul Maroom karangan Al-Hafidz Ibnu Hajar Asqolaniy bab Aqiqah.

Hukum aqiqah seperti yang telah dijelaskan diatas adalah Sunnah bagi orang yang menanggung belanja anaknya. Adapun waktu pelaksanaan aqiqah menurut sayari’at adalah hari ketujuh dari hari kelahiran anaknya. Jika belum dapat melaksanakannya maka aqiqah itu boleh dilaksanakan kapan saja selama anak tersebut belum baligh.

Kalangan ulama Syafi’iyah berpendapat, jika sampai hari ketujuh belum dapat melaksanakannya dapat juga dilaksanakan di hari lain sebelum ibunya berhenti nifas. Jika sampai berhenti nifas belum juga dapat melaksanakannya boleh dilaksanakan sebelum anak tersebut berhenti menyusui. Jika waktu itu juga belum dapat melaksanakannya, boleh dilaksanakan pada saat si anak belum berumur tujuh tahun. Jika sampai berumur tujuh tahun belum juga dilaksanakan, maka usahakanlah agar dapat dilaksanakan sebelum anak tersebut baligh. Aqiqah disyariatkan sekali dalam seumur hidup.

Hewan yang sah untuk pelaksanaan aqiqah adalah sama dengan syarat sahnya hewan qurban yaitu : macamnya, umurnya dan tidak bercacat. Jumlah hewan qurban yang disunnahkan untuk disembelih bagi anak laki-laki adalah dua ekor dan bagi anak perempuan satu ekor. Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ;

ﺃﻤﺮﻨﺎﺮﺴﻭﻞﺍﷲﺼﻟﻰﺍﷲﻋﻟﻳﻪﻭﺴﻟﻡﺃﻦﻨﻌﻕﻋﻥﺍﻟﻐﻼﻢﺑﺷﺎﺘﻳﻥﻮﻋﻥﺍﻟﺟﺮﻴﺔﺑﺷﺎﺓ---ﺮﻮﺍﻩﺍﻟﺗﺮﻤﺫﻮﺍﺒﻦﻤﺎﺠﻪ
Artinya :
“ Telah menyuruh kepada kita Rasulullah SAW supaya kita menyembelih aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan anak perempuan satu ekor kambing “
( HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah )

Dalam hal aqiqah disunnahkan sebelum disedekahkan kepada fakir miskin, daging hewan tersebut dimasak terlebih dahulu. Inilah yang membedakan aqiqah dengan qurban. Orang yang ber-aqiqah boleh memakan sedikit dari daging aqiqah kalau aqiqahnya adalah aqiqah sunnat bukan nadzar. Jika Aqiqah nadzar maka orang yang ber-aqiqah tidak boleh memakannya dan menyimpannya walaupun sedikit dari daging tersebut.

Walloohu A’laam..
Enang Latif Munawar
Author

Madzhab ASWAJA

Ahlussunnah Waljama’ah merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu. Karenanya, proses terbentuknya Ahlussunnah Waljama’ah sebagai suatu faham atau madzhab membutuhkan jangka waktu yang panjang. Seperti diketahui, pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang, seperti ilmu Tauhid, Fiqih, atau Tasawuf terbentuk tidak dalam satu masa, tetapi muncul bertahap dan dalam waktu yang berbeda.

Madzhab adalah metode memahami ajaran agama. Di dalam Islam ada berbagai macam madzhab, di antaranya; madzhab politik, seperti Khawarij, Syi’ah dan Ahlus Sunnah; madzhab kalam, contoh terpentingnya Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah; dan madzhab fiqh, misal yang utama adalah Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah, bisa juga ditambah dengan Syi’ah, Dhahiriyah dan Ibadiyah (al-Mausu’ah al-‘Arabiyah al-Muyassaraah, 1965: 97).

Istilah Ahlussunah wal jama’ah terdiri dari tiga kata, "ahlun", "as-sunah" dan "al-jama’ah". Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan, bukan sesuatu yang tak terpisah-pisah. 

a. Ahlun
Dalam kitab Al-Munjid fil-Lughah wal-A’alam, kata "ahl" mengandung dua makna, yakni selain bermakna keluarga dan kerabat, "ahl" juga dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab sebagaimana tercantum pada Al-Qamus al-Muhith.
Adapun dalam Al-Qur’an sendiri, sekurangnya ada tiga makna "ahl": pertama, "ahl" berarti keluarga, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 45 :


رَبِّ اِنَّ ابْنِى مِنْ أَهْلِى (الهود: 45
Ya Allah sesungguhnya anakku adalah dari keluargaku”.

Juga dalam surat Thoha ayat 132:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَوةِ (طه: 132

Suruhlah keluargamu untuk mengerjakan sholat

Kedua, "ahl" berarti penduduk, seperti dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-A’rof ayat 96.


وَلَوْاَنَّ أَهْلَ اْلقُرَى ءَ امَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْللآَرْض (الآعراف:96

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, maka kami bukakan atas mereka keberkahan dari langit dan bumi.

Ketiga, ahl berarti orang yang memiliki sesuatu disiplin ilmu; (Ahli Sejarah, Ahli Kimia). Dalam Al-Qur’an Allah berfirman surat An-Nahl ayat 43.

فَسْئَلُوْاأَهْلَ الذِكْرِاِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (النحل: 43
 
Bertanyalah kamu sekalian kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.

b. As-Sunnah
Menurut Abul Baqa’ dalam kitab Kulliyyat secara bahasa, "as-sunnah" berarti jalan, sekalipun jalan itu tidak disukai. Arti lainnya, ath-thariqah, al-hadits, as-sirah, at-tabi’ah dan asy-syari’ah. Yakni, jalan atau sistem atau cara atau tradisi. Menurut istilah syara’, as-Sunnah ialah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama, sebagaimana dipraktekkan Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan ataupun persetujuan Nabi SAW. 

Maka dalam hal ini As-sunnah dibagi menjadi 3 macam. Pertama, As-sunnah al-Qauliyah yaitu sunnah Nabi yang berupa perkataan atau ucapan yang keluar dari lisan Rasulullah SAW Kedua, As-Sunnah Al-Fi’liyyah yakni sunnah Nabi yang berupa perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga, As-Sunnah at-Taqririyah yakni segala perkataan dan perbuatan shahabat yang didengar dan diketahui Nabi Muhammad SAW kemudian beliau diam tanda menyetujuinya. Lebih jauh lagi, as-sunnah juga memasukkan perbuatan, fatwa dan tradisi para Sahabat (atsarus sahabah). 

c. Arti Kata Al-Jama’ah
Menurut Al-Munjid, kata "al-jama’ah" berarti segala sesuatu yang terdiri dari tiga atau lebih. Dalam Al-Mu’jam al-Wasith, al-jama’ah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Adapun pengertian "al-jama’ah" secara syara’ ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam. 

Dari pengertian etimologis di atas, maka makna Ahlussunnah wal jama’ah dalam sejarah Islam adalah golongan terbesar ummat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan dalil Al-Qur’an dan Hadits dari pada dalil akal. Hal itu, sebagaimana tercantum dalam sunnah Rasulullah SAW dan sunnah Khulafaurrasyidin RA. Istilah Ahlussunnah Waljama’ah dalam banyak hal serupa dengan istilah Ahlussunnah Waljama’ah Wal-atsar, Ahlulhadits Wassunnah, Ahlussunnah Wal-ashab al-Hadits, Ahlussunnah Wal-istiqamah, dan Ahlulhaqq Wassunnah.

Untuk menguatkan hal-hal di atas terdapat beberapa hadits yang dapat dikemukakan misalnya, dalam kitab Faidlul Qadir juz II, lalu kitab Sunan Abi Daud juz. IV, kitab Sunan Tirmidzy juz V, kitab Sunan Ibnu Majah juz. II dan dalam kitab Al-Milal wan Nihal juz. I. Secara berurutan, teks dalam kitab-kitab tersebut, sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ: اِنَّ اُمَّتِى لاَتجَتْمَعُِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, فَاءِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ

Dari Anas: sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, maka apabila kamu melihat perbedaan pendapat maka kamu ikuti golongan yang terbanyak.
فَاءِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتىِ وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ اْلمَهْدِبِيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوْاعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِ. (رواه ابو داود

Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kamu setelah wafatku maka ia akan melihat perselisihan-perselisihan yang banyak, maka hendaknya kamu berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khufaur-rasyidin yang mendapat hidayat, peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur-rasyidin dengan kuat dan gigitlsh dengan geraham.

اِنَّ بَنِى اِسْرَائِيْلَ تَفَرَّ قَتْ ثِنْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَ تَفْتَرِقُ أُمَّتىِ عَلَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً, كُلُّهُمْ فىِالنَّارِ اِلأَّ مِلَّةً وَاحِدَ ةً, قَالُوْا: وَمَنْ هِىَ يَا رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: مَااَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى (رواه الترمذى

Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 72 golongan dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan, mereka bertanya: siapakah yang satu golongan itu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab; mereka itu yang bersama aku dan sahabat-sahabatku.

عَنْ عَوْفٍ ابْنِ مَالِكٍ رَضِىاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ اُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٍ فِىاْلجَنّاةِ وَثِفْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِىالنَّارِ, قِيْلَ يَارَسُوْلَ اللهِ. مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: الجَمَاعَةُ.
 
Dari Shahabat Auf r.a. berkata; Rasulullah bersabda; Demi yang jiwa saya ditangan-Nya, benar-benar akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan 72 golongan masuk neraka, ditanya siapa yang di surga Rasulullah? Beliau menjawab; golongan mayoritas (jama’ah). Dan yang dimaksud dengan golongan mayoritas mereka yang sesuai dengan sunnah para shahabat.
أَخْبَرَالنَّبِىُّ صلىاللهُ عليه وسلم سَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, النَّاجِيَةُ مِنْهَا وَاحِدَةٌ, وَاْلبَاقُوْنَ هَلْكَى, قِيْلَ: وَمَنِ النَّاجِبَةُ ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلحَمَاعَةِ, قِيْلَ: وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلجَمَاعَةِ ؟ قَالَ: مَا اَنَاعَلَيْهِ وَاَصْحَابِى اْلجَمَاعَةُ اْلمُوَفِقُوْنَ ِلجَمَاعَةِ الصَّحَابَةِ. رواه ابى ماجة.
 
Menyampaikan Rasulullah SAW akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, yang selamat satu golongan, dan sisanya hancur, ditanya siapakah yang selamat Rasulullah? Beliau menjawab Ahlussunnah wal Jama’ah, beliau ditanya lagi apa maksud dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab; golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah shahabatku”.
KH Nuril Huda
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Fasal Tentang Tahlil

Dalam bahasa arab, Tahlil berarti menyebut kalimah “syahadah” yaitu “La ilaha illa Allah” (لااله الا الله). Definisi ini dinyatakan oleh Al-Lais dalam kitab “Lisan al-Arab”. Dalam kitab yang sama, Az-Zuhri menyatakan, maksud tahlil adalah meninggikan suara ketika menyebut kalimah Thayyibah.

Namun kemudian kalimat tahlil menjadi sebuah istilah dari rangkaian bacaan beberapa dzikir, ayat Al-Qur'an, do'a dan menghidangkan makanan shadaqah tertentu yang dilakukan untuk mendo'akan orang yang sudah meninggal. Ketika diucapkan kata-kata tahlil pengertiannya berubah seperti istilah masyarakat itu.

Tahlil pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam di tanah Jawa). Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.

Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.

Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian di atas tidak dikenal sebelum Wali Songo.

KH Sahal Mahfud, ulama asal Kajen, Pati, Jawa Tengah, yang kini menjabat Rais Aam PBNU, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.

Persoalannya adalah, apakah doa orang yang bertahlil akan sampai kepada mayit dan diterima oleh Allah? Jika diperhatikan dalam hadits bahwa Nabi SAW pernah mengajarkan doa-doa yang perlu dibaca untuk mayit:


عَنْ عَوْفٍ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ: صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ اِغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَاعْفُ عَنْهُ

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.”

Di dalam hadis, Nabi SAW pernah menyatakan;

يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ

orang yang menyebut “la ilaha illa Allah” akan dikeluarkan dari neraka."

Hadis ini menyatakan tentang keselamatan mereka menyebut kalimah syahadah dengan diselamatkan dari api neraka. Jaminan ini menandakan bahwa, menyebut kalimah syahadat merupakan amalan soleh yang diakui dan diterima Allah SWT.

Maka dengan demikian, apabila seseorang yang mengadakan tahlil, mereka berzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah terlebih dahulu, kemudian mereka berdoa, maka amalan itu tidak bertentangan dengan syari’at, sebab bertahlil itu sebagai cara istighatsah kepada Allah agar doanya diterima untuk mayit.

Dari hadis tersebut juga dapat diambil kesimpulan hukum bahwa, doa kepada mayit adalah ketetapan dari hadits Nabis SAW maka dengan demikian, anggapan yang mengatakan doa kepada mayit tidak sampai, merupakan pemahaman yang hanya melihat kepada zhahir nash, tanpa dilihat dari sudut batin nash. Argumentasi mereka adalah firman Allah SWT:

وَاَنْ لَيْسَ للإنْسَانِ اِلاَّ مَاسَعَى

Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi Muhammad SAW:

اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

Jika anak Adam meningga, maka putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak shaleh yang mendo’akannya.”

Mereka yang mempunyai anggapan bahwa doa kepada mayit tidak sampai sepertinya hanya secara tekstual (harfiyah) memahami suatu dalil tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lainnya.

Sehingga kesimpulan yang mereka ambil mengenai do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang yang telah meninggal. Dalam ayat lain Allah SWT menyatakan bahwa orang yang telah meninggal dapat menerima manfaat doa yang dikirimkan oleh orang yang masih hidup. Allah SWT berfirman:

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلإخَْوَانِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإَْيْمَانِ......

Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

1. ٍAyat ini menunjunkkan bahwa doa generasi berikut bisa sampai kepada generasi pendahulunya yang telah meninggal. Begitu juga keterangan dalam kitab “At-Tawassul” karangan As-Syaikh Albani menyatakan: “Bertawassul yang diizinkan dalam syara’ adalah tawassul dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah, tawassul dengan amalan soleh dan tawassul dengan doa orang shaleh.”

2. Mukjizat para nabi, karomah para wali dan ma’unah para ulama tidak terputus dengan kematian mereka. Dalam kitab Syawahidu al Haq, karya Syeikh Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani: 118 dinyatakan:

وَيَجُوزُ التَّوَسُّلُ بِهِمْ إلَى اللهِ تَعَالَى ، وَالإِسْتِغَاثَةُ بِالأنْبِيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ وَالعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ بَعْدَ مَوتِهِمْ لأَنَّ مُعْجِزَةَ الأَنْبِيَاءِ وَكَرَمَاتِ الأَولِيَاءِ لاَتَنْقَطِعُ بِالمَوتِ

Boleh bertawassul dengan mereka (para nabi dan wali) untuk memohon kepada Allah SWT dan boleh meminta pertolongan dengan perantara para Nabi, Rasul, para ulama dan orang-orang yang shalih setelah mereka wafat, karena mukjizat para Nabi dan karomah para wali itu tidaklah terputus sebab kematian.”(Syeikh Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani, Syawahidul Haq, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th), h. 118)

3. Dasar hukum yang menerangkan bahwa pahala dari bacaan yang dilakukan oleh keluarga mayit atau orang lain itu dapat sampai kepada si mayit yang dikirimi pahala dari bacaan tersebut adalah banyak sekali. Antara lain hadits yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal Hayaah juz 1 : 442, sebagai berikut:

وَقَدِ اسْتَدَلَّ الفُقَهَاءُ عَلَى هَذَا بِأَنَّ أَحَدَ الصَّحَابَةِ سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّم فَقَالَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوتَانَا وَنُحَجُّ عَنْهُمْ وَنَدعُو لَهُمْ هَلْْ يَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ؟ قَالَ: نَعَمْ إِنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَإِنَّهُمْ لَيَفْرَحُوْنَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ اَحَدُكُم بِالطَّبَقِ إِذَا أُهْدِيَ إِلَيْهِ!

“Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!"

Sedangkan Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.

Ketiga hal tersebut, semuanaya termasuk ibadah dan perbuatan taat yang diridlai oleh Allah AWT. Syaikh Nawawi dan Syaikh Isma’il menyatakan: "Bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sunnah (matlub), tetapi hal itu tidak harus dikaitkan dengan hari-hari yang telah mentradisi di suatu komunitas masyarakat dan acara tersebut dimaksudkan untuk meratapi mayit.

وَالتَّصَدُّقُ عَنِ المَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍ مَطْلُوْبٌ وَلاَ يَتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِىْ سَبْعَةِ أَيَّامٍ أَوْ أَكْثَرَ أَوْ أَقَلَّ وَتَقْيِيْدُ بَعْضِ الأَيَّامِ مِنَ العَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا أَفْتىَ بِذَالِكَ السَيِّدُ اَحْمَد دَحْلاَنْ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ المَيِّتِ فِىْثاَلِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِىْسَابِعٍ وَفِىْ تَمَامِ العِشْرِيْنَ وَفِى الأَرْبَعِيْنَ وَفِى المِائَةِ وَبَعْدَ ذَالِكَ يَفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلاً فِىْ يَوْمِ المَوْتِ

"Memberi jamuan secara syara’ (yang pahalanya) diberikan kepada mayyit dianjurkan (sunnah). Acara tersebut tidak terikat dengan waktu tertentu seperti tujuh hari. Maka memberi jamuan pada hari ketiga, ketujuh, kedua puluh, ke empat puluh, dan tahunan (hawl) dari kematian mayyit merupakat kebiasaan (adat) saja. (Nihayatuz Zain: 281 , I’anatuth-thalibin, Juz II: 166)

HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU